Social Proof dan Demokrasi

ichsan kamill
4 min readNov 21, 2022

--

Senin pagi yang terburu-buru harus juga dihiasi dengan rasa berisik dari suara klakson para pengguna kendaraan yang saat itu sedang menunggu lampu lalu lintas yang sudah berwarna kuning.

Klakson itu dipelopori oleh seorang pengguna mobil yang terhalang oleh seorang pemotor yang sedang bermain handphone. Namun, tanpa sadar saya yang berada disamping mobil tersebut juga ikut memencet klakson dan menghiasi kebisingan pagi itu. Bukan hanya saya beberapa motor dibelakang dan disamping saya juga ikut memencet klaksonnya. Dalam jeda beberapa detik dari peralihan lampu kuning ke hijau, suara klakson baik motor dan mobil sudah sangat banyak ikut andil dalam membantu sebuah mobil yang mengingatkan sebuah sepeda motor dengan penggunanya yang sedang asik memilih lagu dispotify ditengah lampu hijau.

Apa kejadian tersebut sangat familiar?

Jika belum saya akan menambahkan kembali sebagai pengantar dari maksud yang saya ingin bahas.

Saya sedang mengikuti sebuah seminar, seorang dengan setelan yang rapih sedang menjadi sebuah narasumber, seorang tersebut memiliki suara yang nyaman didengar, tutur katanya halus, dan kalimatnya mudah dimengerti tanpa mengurangi rasa intelektual dalam penyampaian. Ditengah pemaparan materi yang sedang beliau sampaikan ia melihat pada sebuah langit langit yang kebetulan ada dibelakang para peserta seminar, dalam hitungan detik beberapa orang ikut melihat ke arah yang sama, seperti yang dilakukan narasumber pada seminar tersebut.

Seminar tersebut tidak diminati banyak orang. beberapa hanya terpaksa demi sebuah sertifikat yang dapat ia gunakan sebagai syarat untuk mengikuti sidang skripsi dikampus, tidak heran banyak orang yang curi-curi waktu untuk tidur dan tidak mengikuti seminar. Tidak semuanya begitu, beberapa orang dengan seksama mendengarkan, dari beberapa orang tersebut pada sebuah kalimat yang belum usai, seorang bertepuk tangan tanpa sebab. Lalu semua orang bertepuk tangan baik seorang yang dengan seksama mendengarkan, maupun orang yang sedang asyik mencuri waktu untuk memejamkan matanya.

Dari dua contoh diatas, banyak orang tidak menyadari sesuatu. Bahwa sekelompok orang akan mengikuti seorang yang menjadi perhatian dengan sangat mudah. Hal ini dinamakan social proof Fahruddin Faiz, dalam bukunya Ihwal Sesat Pikir dan Cacat Logika. Mengutarakan bahwa social Proof adalah sebagai salah satu sesat logika, saya bertanya tanya pengaruh apa yang menjadikan penulis menjadikan Social proof sebagai alasan sesat logika, karena jika anda mengetik social Proof pada mesin telusur, kalian akan banyak melihat sosial Proof sebagai sebuah alat marketing, siapa yang tega memanfaatkan kesesatan berpikir menjadi sebuah bahan jualan.

Pertanyaan itu membuat saya mencari hingga jauh ke yunani, ya begitu jauh. Pada masa itu saya menemukan suatu Filsafat kuno yang melahirkan kaum sofisme, belakangan orang-orang sofisme menjadi sebuah anti tesis dari filsafat Socrates yang ditulis oleh Plato lewat narasi-narasinya pada beberapa buku.

Saat itu athena memenangkan perang dan kekayaan mereka membuat seorang lebih memikirkan bagaimana caranya memajukan pikiran daripada ketakutan untuk perang, ini adalah salah satu faktor. Tentu masih banyak faktor yang lain.

Orang-orang yang mendambakan demokrasi berusaha membawa isi kepalanya ke tengah-tengah pasar untuk diperdebatkan, tidak lain dan tidak bukan kaum sofisme lah yang mengajarkan bagaimana perdebatan itu dimenangkan. Tentu tidak gratis, kaum sofisme yang hadir sebagai perantau ke athena menjual ilmunya yang dikenal Retorika. Yang kelak disempurnakan oleh aristotles lewat bukunya.

Semua orang yang memahami demokrasi, malah membuat demokrasi itu diujung tanduk. Karna beberapa pejabat yang mengumandangkan pendapatnya bukan karena sesuatu itu benar, melainkan banyak kepentingan yang lain. Jadi persetan benar, pejabat tersebut hanya berusaha mengungkapkan apa yang ia mau dan mencari “Massa”

Dan seperti itulah cara bagaimana demokrasi sedikit demi sedikit dipertanyakan “Kredibilitasnya”

Mari kita ketik di mesin telusur “Demokrasi” banyak pengertian yang digambarkan oleh beberapa orang. Tapi pada intinya demokrasi adalah keputusan terpenting yang diambil oleh suatu keputusan mayoritas biarpun pada kasus ini Indonesia demokrasinya masih dititipi oleh Dewan perwakilan yang “Dipilih” oleh rakyat itu sendiri.

Lalu bagaimana pilihan itu kita pilih? Sebelum kita beralih pada jawaban yang makin lama makin jauh, marii kita melihat sedikit pada diri kita, bagaimana kita membenci atau mencintai sesuatu karna ikut-ikutan, dan kegiatan yang kita lakukan seperti bekerja, terasa hampa dan tidak ada maknanya, jawaban tersebut ternyata kembali pada permasalahan pertama Social proof. Beberapa hanya “ikut-ikutan”

Seorang yang rasanya argument atau gagasannya belum sempurna bisa saja memanfaatkan dan mempengaruhi seseorang demokrasi dengan social proof, mengapa? Karena rentannya manusia yang ingin berpikir hal sekecil UNTUK APA saya mencet klakson, dan tepuk tangan atau melihat ke arah yang dilihat orang yang sedang berbicara dihadapannya saya.

Mengapa demikian?

--

--